"Kalau menanam pohon jeruk, pastilah buahnya jeruk; kalau menanam
pohon mangga, pastilah buahnya mangga." Setiap orangtua yang telah
melakukan pekerjaan rumahnya dengan sebaik-baiknya, pastilah
memiliki harapan bahwa si anak yang telah "ditanam" itu akan
bertumbuh sesuai dengan didikan yang telah diberikan. Biasanya si
anak akan bertumbuh sesuai dengan target orangtua ... sampai ia
menginjak usia remaja. Tapi... si anak yang penurut, suka membantu,
tidak melawan, periang, dan sebagainya, tiba-tiba berubah menjadi
seorang yang pemurung, cepat tersinggung, masa bodoh, dan suka
melawan. Dalam keadaan terkejut, kita pun dengan gugup bertanya-
tanya, "Apakah kami telah melakukan kesalahan? Jika ya, kekeliruan
apa yang telah kami lakukan?"
Saya pikir intropeksi memang perlu, sehat, dan alami, asalkan tidak
dilakukan dengan gegabah dan tidak rasional. Melihat perubahan
drastis pada anak kita memanglah mengejutkan serta menakutkan.
Mengejutkan karena pohon mangga yang telah kita tanam, sekarang
berbuah jeruk; sedangkan pohon jeruknya berbuah mangga. Menakutkan
karena kita merasa tak berdaya mengendalikannya. Sebelumnya segala
sesuatu berjalan menurut aturan, dalam arti perilaku si anak tetap
dalam perkiraan kita. Apabila kita memarahinya, ia menjadi takut
atau menangis. Jika kita tidak memarahinya, ia pun menunjukkan
perasaan yang riang dan perilaku yang ramah. Tanpa sebab ia mulai
memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kita. Kita mencoba
mengajaknya berdialog, yang kita terima darinya hanyalah, bahu
terangkat seraya berkata, "Tidak ada apa-apa." Adakalanya ia membisu
seribu bahasa dan usaha kita mengajaknya bicara terasa sia-sia.
Sebelumnya kita merasa sangat berarti dalam hidupnya, sekarang kita
merasa sangat kecil dan terkucil di hadapannya. Kita berupaya
mengetuk pintu hatinya, namun ia bersikeras menguncinya.
Dalam bukunya, "Helping The Struggling Adolescent", Les Parrot III
menguraikan konsep diri remaja yang terdiri dari empat aspek.
ASPEK PERTAMA adalah DIRI SUBJEKTIF, yaitu pandangan pribadi remaja
tentang siapakah dirinya. Ada remaja yang menilai dirinya tampan,
tapi ada pula yang menganggap dirinya tidak menarik. Ada remaja yang
melihat dirinya supel, namun ada pula yang "kuper" (alias kurang
pergaulan). Konsep diri subjektif bersumber dari penilaian orangtua,
guru, dan teman yang telah menjadi konsep diri si remaja.
ASPEK KEDUA ialah DIRI OBJEKTIF, yakni pandangan orang lain tentang
diri si remaja. Pandangan orang lain bersifat mandiri dan beragam,
dalam arti pandangan ini merupakan pandangan pribadi seseorang
tentang si remaja dan pandangan tiap orang tidak harus sama dengan
yang lainnya. Si remaja mungkin berpikir bahwa ia adalah seseorang
yang ramah dan ringan tangan (diri subjektif), namun beberapa
temannya menganggap bahwa ia adalah seseorang yang mau tahu urusan
orang lain (diri objektif).
ASPEK KETIGA ialah DIRI SOSIAL, yaitu pandangan si remaja akan
dirinya berdasarkan pemikirannya tentang pandangan orang lain
terhadap dirinya. Di sini si remaja melihat dirinya dengan
menggunakan kacamata orang lain. Ia mereka-reka apa penilaian orang
lain terhadap dirinya dan sudah tentu rekaan ini dapat tepat tapi
dapat pula keliru. Ia mungkin menganggap bahwa orang lain melihatnya
sebagai seseorang yang berani (diri sosial) namun dalam kenyataannya
beberapa temannya memandangnya sebagai seseorang yang kurang ajar
(diri objektif). Ia sendiri mungkin menilai dirinya bukan sebagai
seseorang yang berani melainkan sekadar sebagai pembela keadilan
(diri subjektif).
ASPEK KEEMPAT adalah DIRI IDEAL, yakni sosok dirinya yang paling ia
dambakan atau ia cita-citakan. Diri ideal adalah diri yang belum
terjadi atau terbentuk sehingga si remaja terus berusaha
mencapainya. Ia mungkin melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak
stabil (diri subjektif), oleh karena itu ia senantiasa berupaya
menjadi seseorang yang sabar (diri ideal).
Menurut hemat saya, aspek yang paling berpotensi menimbulkan masalah
bagi remaja dari keempat konsep diri ini, adalah diri sosial. Kita
semua pasti pernah bertanya-tanya, apa penilaian orang lain terhadap
diri kita. Pada diri remaja, pertanyaan semacam ini amatlah penting
karena ia sangat bergantung pada penilaian orang lain, terutama
teman-temannya. Pada remaja, konflik antara diri subjektif dan diri
sosial mudah terjadi. Misalnya, pada awalnya si remaja berpikir
bahwa ia adalah seorang yang alim (positif) karena orangtuanya kerap
kali memujinya sebagai seorang anak yang alim. Ia sendiri menyadari
bahwa ia jarang sekali melawan kehendak orangtuanya dan ia tidak
pernah menerima teguran keras dari gurunya. Ia berkeyakinan bahwa
menjadi anak yang alim adalah suatu hal yang baik.
Masalah mulai timbul tatkala ia memasuki usia remaja, di mana ia
mulai menyadari bahwa anak yang nakal mendapatkan hormat dari teman-
teman karena dianggap berani. Sebaliknya, anak yang alim justru
terlupakan dan tidak menerima hormat dari teman-teman karena
dianggap pengecut. Akibatnya, ia pun berpandangan bahwa teman-
temannya justru menganggap kealiman dia sebagai tanda bahwa ia
adalah seseorang yang penakut (negatif). Dengan kata lain, hal yang
positif di rumah merupakan hal yang negatif di luar rumah. Di rumah
ia dihargai, di luar rumah ia diremehkan. Sungguh bukan suatu
pilihan yang mudah.
Sering kali remaja mengalami tekanan yang timbul dari konflik
seperti ini. Tekanan ini semakin bertambah karena ia merasa tidak
dapat menyampaikan persoalan yang dihadapinya, baik kepada sesama
teman maupun kepada orangtua. Dalam kesendiriannya itu, ia dapat
menjadi murung dan mengurung diri. Ia tidak tahu apa yang harus ia
perbuat. Menjadi nakal berarti melanggar hati nurani dan
keyakinannya tentang siapa dia sebenarnya serta membuat orangtuanya
marah. Sebaliknya, tetap alim berarti terkucil dan hilang dari
peredaran.
Ada satu saran yang dapat saya ajukan kepada para orangtua remaja
yakni, komunikasikanlah pemahaman kita akan pergumulan yang sedang
ia hadapi dan pilihan-pilihan yang sulit yang harus ia putuskan.
Tidak ada perasaan yang lebih menyegarkan jiwa dan melegakan kalbu
daripada merasa dimengerti. Perasaan dimengerti membuat remaja
melihat dirinya dengan perspektif yang seimbang: bahwa ia bukanlah
seseorang yang aneh. Katakan kepadanya, bahwa kita memahami
kesulitannya mempertahankan kealimannya. Sampaikan kepadanya, bahwa
kita mengerti keinginannya untuk dikenal sebagai seseorang yang
pemberani, bukan pengecut. Komunikasikan kepadanya, bahwa kita
mengerti keinginannya untuk dihargai sesama teman, bukan diremehkan.
Sewaktu saya SMA, orangtua saya memiliki dua mobil, yang satu tua,
yang satu relatif lebih baru. Saat itu kami tidak ada sopir sehingga
saya terpaksa mengantarkan adik-adik ke sekolah dan setelah itu saya
mengendarai mobil ke sekolah saya. Biasanya saya menggunakan mobil
yang tua, sedangkan ayah saya mengendarai yang lebih baru.
Sesungguhnya saya merasa enggan sekali menggunakan mobil yang tua
itu sebab saya malu dengan teman-teman. Pada umumnya mereka
bermotor, bermobil baru, atau naik bus, namun tidak ada yang
mengendarai mobil tua (menurut pengamatan saya). Jadi, pada pagi
hari saya senantiasa berupaya mengendarai mobil yang lebih baru dan
rupanya ayah saya mencium keengganan saya itu.
Pada suatu hari ia berbicara kepada saya dengan nada yang penuh
kerendahan hati dan menjelaskan bahwa sebetulnya ia tidak keberatan
mengendarai mobil yang tua itu kalau bukan karena tuntutan
kariernya. Ia mengatakan bahwa ia menyadari bahwa saya lebih
menyukai memakai mobil yang lebih baru itu. Perkataannya yang penuh
pengertian sangat menyentuh hati saya dan saya merasa malu karena
telah mementingkan diri seperti itu. Pada saat itu saya menerima
perkataan ayah saya karena ia tidak memarahi saya sebagai anak yang
tidak dewasa atau yang terlalu mementingkan gengsi. Sebaliknya, ia
mengkomunikasikan pengertiannya akan pergumulan pribadi yang saya
alami sebagai remaja, yakni ingin dihargai teman (dengan cara
mengendarai mobil yang lebih baru).
Bagi saya, dan juga bagi banyak remaja, pengertian semacam inilah
yang amat dibutuhkan. Suatu pengertian bahwa mereka tetaplah pohon
yang sama namun dengan dikerumuni oleh pohon-pohon lainnya, sehingga
adakalanya buah mereka tercampur dengan buah-buah dari pohon yang
lain. Mereka tetaplah pohon mangga yang akan menghasilkan buah
mangga dan pohon jeruk yang akan menghasilkan buah jeruk.